Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan
Undang-Undang No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
"Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuk undang-undang yang baru," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan di Jakarta, Rabu.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa filosofi dalam Undang-Undang Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
"Pengertian koperasi ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain di dalam Undang-Undang No. 17/2012, sehingga di suatu sisi mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas," kata anggota Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Ia juga mengatakan bahwa undang-undang itu mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial serta mengesampingkan modal sosial yang menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945.
Pada sisi lain, lanjutnya, koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas dan kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi khas bagi bangsa yang berfilosofi gotong royong.
"Menurut mahkamah, permohonan pemohon hanya mengenai pasal tertentu, namun oleh karena pasal tersebut mengandung materi muatan norma subtansial yang menjadi jantung UU No. 17/2012 sehingga jika hanya pasal-pasal tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal lain tidak dapat berfungsi lagi," jelas dia.
Permohonan pengujian terhadap UU No. 17/2012 diajukan oleh Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia Provinsi Jawa Timur; Pusat Koperasi Unit Desa Jawa Timur; Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur; Pusat Koperasi An-nisa Jawa Timur; Pusat Koperasi BUEKA Assakinah Jawa Timur; Gabungan Koperasi Susu Indonesia; Agung Haryono; dan Mulyono.
Mereka meminta mahkamah menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 dalam undang-undang tersebut.
Koalisi LSM untuk Demokratisasi Ekonomi dan perorangan juga mengajukan permohonan pengujian undang-undang tentang koperasi.
Mereka meminta mahkamah menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 11, Pasal 1 angka 18, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 50 ayat (1) huruf a, Pasal 50 ayat (2) huruf e, Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 63, Pasal 65, Pasal 66 ayat (2) huruf b, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118 dan Pasal 119.
Para pemohon menilai sejumlah pasal yang mengatur norma badan hukum koperasi, modal penyertaan dari luar anggota, kewenangan pengawas dan dewan koperasi dalam undang-undang tersebut telah mencabut roh kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, serta asas kekeluargaan dan kebersamaan yang dijamin konstitusi.
"Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian berlaku untuk sementara waktu sampai dengan terbentuk undang-undang yang baru," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan di Jakarta, Rabu.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa filosofi dalam Undang-Undang Perkoperasian ternyata tidak sesuai dengan hakikat susunan perekonomian sebagai usaha bersama dan berdasarkan asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
"Pengertian koperasi ternyata telah dielaborasi dalam pasal-pasal lain di dalam Undang-Undang No. 17/2012, sehingga di suatu sisi mereduksi atau bahkan menegasikan hak dan kewajiban anggota dengan menjadikan kewenangan pengawas terlalu luas," kata anggota Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Ia juga mengatakan bahwa undang-undang itu mengutamakan skema permodalan materiil dan finansial serta mengesampingkan modal sosial yang menjadi ciri fundamental koperasi sebagai suatu entitas khas pelaku ekonomi berdasarkan UUD 1945.
Pada sisi lain, lanjutnya, koperasi menjadi sama dan tidak berbeda dengan perseroan terbatas dan kehilangan roh konstitusionalnya sebagai entitas pelaku ekonomi khas bagi bangsa yang berfilosofi gotong royong.
"Menurut mahkamah, permohonan pemohon hanya mengenai pasal tertentu, namun oleh karena pasal tersebut mengandung materi muatan norma subtansial yang menjadi jantung UU No. 17/2012 sehingga jika hanya pasal-pasal tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat maka akan menjadikan pasal-pasal lain tidak dapat berfungsi lagi," jelas dia.
Permohonan pengujian terhadap UU No. 17/2012 diajukan oleh Gabungan Koperasi Pegawai Republik Indonesia Provinsi Jawa Timur; Pusat Koperasi Unit Desa Jawa Timur; Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur; Pusat Koperasi An-nisa Jawa Timur; Pusat Koperasi BUEKA Assakinah Jawa Timur; Gabungan Koperasi Susu Indonesia; Agung Haryono; dan Mulyono.
Mereka meminta mahkamah menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 80, Pasal 82, dan Pasal 83 dalam undang-undang tersebut.
Koalisi LSM untuk Demokratisasi Ekonomi dan perorangan juga mengajukan permohonan pengujian undang-undang tentang koperasi.
Mereka meminta mahkamah menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 11, Pasal 1 angka 18, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 50 ayat (1) huruf a, Pasal 50 ayat (2) huruf e, Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 63, Pasal 65, Pasal 66 ayat (2) huruf b, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118 dan Pasal 119.
Para pemohon menilai sejumlah pasal yang mengatur norma badan hukum koperasi, modal penyertaan dari luar anggota, kewenangan pengawas dan dewan koperasi dalam undang-undang tersebut telah mencabut roh kedaulatan rakyat, demokrasi ekonomi, serta asas kekeluargaan dan kebersamaan yang dijamin konstitusi.